Sabtu, 07 Januari 2012

Refleksi Atas Politik Agraria Pemerintahan SBY - Budiono

“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, Djalanja Revolusi Kita, 1960)

Berbeda dengan pemerintahan Soekarno, pemerintahan SBY-Boediono tidak menjadikan reforma agraria sebagai landasan pembangunan nasional. Padahal sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia bergantung kepada sumber-sumber agraria, khusus tanah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim SBY-Boediono tidak punya kepedulian terhadap nasib kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang bergantung terhadap tanah dan sumber-sumber agraria.

Selama ini, tidak dijalankannya reforma agraria telah mengakibatkan berbagai persoalan struktural di Indonesia, diantaranya ; 1) rapuhnya struktur perekonomian bangsa dan tidak kokohnya bangunan industrialisasi. 2) terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sangat tajam. Hal ini pada gilirannya telah menciptakan kondisi ketidakadilan sosial dan kemiskinan dan pengangguran missal. 3) maraknya konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia. 4) Terbentuknya sistem hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. 5) Terbangunnya suatu birokrasi dan kekuasaan negara yang menjalankan politik agraria yang lebih mementingkan pengusaha besar dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Masalah-masalah agaria di atas sebagai warisan pemerintahan orde baru, sampai saat ini masih berlangsung tanpa ada niat atau dan komitmen politik untuk mengakhirinya. Komitmen politik pemerintah sejatinya dimulai dari perubahan politik hukum agraria yang lebih mengabdi pada pengusaha dengan mengorbankan kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat. Tapi nyatanya komitmen politik tersebut tak kunjung datang, meskipun umur reformasi telah memasuki usianya 12 tahun.

Politik agraria yang hadir saat ini tak ada bedanya dengan politik agraria di jaman kolonial. Yakni politik agraria yang lebih mengabdi pada kepentingan kaum parikelir dengan mengorbankan kaum tani. Pemerintahan Soekarno mencoba untuk mendekontruksi politik hukum agraria kolonial tersebut di atas denga mengeluarkan UUPA tahun 1960. Namun sayangnya di era pemerintahan Soeharto dimandulkan dan dikhianati dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mengatur masalah agaria yang bertentangan dengan UUPA.

Ironisnya, tindakan serupa kembali dilakukan oleh pemerintahan pasca reformasi. Bukannya melakukan revitalisasi atas semangat yang dikandung oleh UUPA, yakni dengan menjalankan land reform, justru sejumlah kebijakan yang lahir sama sekali tidak merujuk pada UUPA, misalnya lahirnya UU tentang kehutanan, UU tentang Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Modal Asing, dsb. Inti dari semua kebijakan tersebut adalah alokasi penguasaan sumber daya agraria dalam skala besar dalam mekanisme pasar. Lagi-lagi rakyat kecil menjadi korban.

Berbagai kebijakan yang lahir pasca reformasi, termasuk yang lahir di era rezim SBY telah mengakibatkan persoalan pokok agraria semakin dalam. Ada dua pokok persoalan yang paling mencolok, yakni situasi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan dan sumber-sumber agraria yang semakin dalam dan merebaknya konflik agraria yang disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Masalah ketimpangan bisa kita saksikan misalnya dalam hal penguasaan aset-aset produktif nasional dimana hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besarnya dalam bentuk tanah. Ketimpangan juga berlangsung di sektor kehutanan, dimana sampai saat ini kurang lebih 17,38 juta Ha telah diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk IUPHHK, dan 8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industri. Di sektor perkebunan besar, kurang lebih 15 juta hektar untuk Hak Guna usaha.

Kondisi ketimpangan agraria juga ditunjukkan dengan kenyataan bahwa 35 persen daratan Indonesia telah dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B). Namun pada yang bersamaan terjadi peningkatan petani gurem. BPS mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) jumlah petani gurem semakin meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang.

Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rat pemilikannya hanya 0,36 hektar.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik agraria nasional kita saat ini sepenuhnya mengabdi pada kepentingan ekonomi kapitalisme neoliberal. Hal ini kemudian melahirkan dua macam bentuk ketidakadilan, yakni ketimpangan alokasi tanah dan sumber-sumber agraria untuk kegiatan ekstraksi dan berorientasi keuntungan bagi proyek¬proyek bisnis besar dibandingkan dengan alokasi tanah untuk kegiatan pertanian rakyat, dan juga terjadi ketimpangan distribusi tanah diantara petani-petani di Indonesia.

Akibat lain dari politik agraria tersebut di atas adalah maraknya konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia. Selama 2010, data per januari-juni2010, KPA merekam sekitar lebih dari 167.741 Ha tanah dalam status konflik. Jumlah lahan tersebut berkonflik di lebih dari 60 wilayah kasus di Indonesia. Data tersebut masih terus berkembang dan dalam proses pencatatan tambahan selama periode juli-desember 2010. Kasus tersebut telah menimbulkan korban lebih dari 150.000 KK.
Berhadapan dengan politik agraria yang semakin liberal, kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat tidak pernah surut untuk memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria sejati. Reforma agraria diyakini oleh sebagai jalan untuk melepaskan mereka dari proses penindasan, penghisapan, kesengsaraan dan kemiskinan.

Dalam konteks ini, reforma agraria erat kaitannya dengan upaya pembebasan rakyat dari berbagai macam bentuk penindasan dan penghisapan. Karena reforma agraria dalam pengertian yang sesungguhnya adalah suatu program politik untuk merubah struktur kekuasaan dalam lapangan agraria (penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria)”. Di dalamnya, redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang ditentukan, dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria tersebut.

Lebih jauh reforma agraria atau pembaruan agraria pada prinsipnya bertujuan untuk mengkahiri suatu sistem ekonomi politik yang didasari atas hubungan-hubungan produksi yang menindas dan tidak adil atas tanah dan sumber daya alam. Dalam pengertiannya sebagai upaya untuk merombak ulang atas pemilikan, penguasaan, penggunaan pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam yang timpang, reforma agraria menghendaki pembaruan hubungan produksi yang tidak adil dan menindas sebagai hasil dari sistem feodalisme dan kolonialisme.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan program reforma agraria yang sempat dikampanyekan oleh Rezim SBY di awal tahun 2007. Dalam pidatonya, Presiden menyatakan niatnya untuk melakukan redistribusi lahan secara terbatas dan sertfikasi tanah. Sampai saat ini, janji untuk melakukan redistribusi tanah seluas 8,15 juta Ha yang berasal dari hutan produksi yang bisa dikonversi tidak pernah terealisasi, tetapi yang dilakukan adalah mempercepat sertifikasi yang tentu saja sangat jauh dari pengertian reforma agraria sejati.

Sejak awal, terdapat simplipikasi pengertian reforma agraria dari pidato presiden SBY. Sebab program redistribusi lahan tidak selalu bermakna sebagai reforma agraria sejati, apalagi dalam kenyataannya lebih mendahulukan program sertifikasi. Karena pada dasarnya, reforma agraria harus bermakna penataan ulang struktur penguasaan tanah yang di dalamnya dapat terliput – dan biasanya menjadi program intinya – suatu aktivitas redistribusi tanah dan pembatasan atau pencegahan konsentrasi penguasaan tanah. Bahkan dapat pula di dalamnya terkandung aksi-aksi untuk menata ulang sistem bagi hasil dalam kegiatan pertanian.

Aktivitas redistribusi tanah tersebut selanjutnya harus disertai dengan sejumlah program ikutan yang tidak bisa tidak harus disediakan secara programatik pula, yakni penyediaan segala kemudahan bagi petani penerima tanah untuk memulai mengembangkan potensi produktivitasnya di atas tanah yang mereka terima. Peran negara (dalam hal ini pemerintah) tidak hanya menyiapkan sarana untuk kemudahan berproduksi dan kemudian memasarkan hasil-hasil produksi kelompok-kelompok petani penerima tanah tersebut, tetapi juga ada perannya untuk memberikan perlindungan ketika petani-petani penerima tanah masih harus memperkuat unit-unit ekonomi produksinya.

Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) memperjuangkan reforma agraria sejati (Genuine agrarian reform). Kata sejati (genuine) disini bermakna sebagai oposisi terhadap program reforma agraria yang sedang marak dikampenyekan oleh rezim SBY-Boediono.

Reforma agraria sejati yang dikehendaki oleh kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat adalah reforma agraria dengan agenda-agenda sebagai berikut :
(1) Merombakan struktur agraria yang timpang; (2) Mengadakan pembagian yang adil atas “sumber-sumber agraria”, dalam hal ini yang terutama adalah tanah, sebagai sumber penghidupan; (3) Mengikis dan mencegah konsentrasi penguasaan tanah dan sumber daya alam; (4) Menyelesaikan segala konflik agraria yang terjadi selama ini secara menyeluruh; (5) Mengadakan sejumlah hal yang diperlukan bagi tumbuhnya ekonomi rakyat yang kuat, khususnya yang berbasis di pedesaan; dan (6) Membangun fondasi yang kokoh atas keadilan sosial sejalan dengan amanah UUPA 1960 dan TAP MPR No. IX/2001.

Untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka program ini perlu dipersiapkan dengan matang dengan memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan. Peran negara (dalam hal ini: pemerintah) sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam pelaksanaan reforma agraria, termasuk menyediakan prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat ideal pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud meliputi: (1) kemauan politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya organisasi tani yang kuat, (4) dukungan dari angkatan bersenjata, dan (5) dipisahkannya elit politik dan elit bisnis.

Oleh:
Idham Arsyad (Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Juru Bicara FORI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum News

Korupsi News

Visitors

Berita

Fokus Kajian

  • Demokrasi
  • Hak Asasi Manusia

Politik News

Jakarta - DPR telah membatalkan rencana pembangunan gedung baru. Namun diam-diam membangun satu-persatu ruang rapat. DPR dinilai menipu rakyat. "Mereka tidak pernah stop pembangunan gedung baru, tapi mereka memecah rencana itu sampai tahun 2014. Saya pikir sekarang mereka siasati satu-persatu. Mulai parkir, toilet, ruang Banggar di Nusantara II, kemudian totalitas pembangunan gedung DPR itu sendiri," tuding Direktur Lima Indonesia, Ray Rangkuti, kepada detikcom, Rabu (11/1/2012. Di tahun-tahun yang akan datang, Ray meyakini, DPR akan membangun berbagai fasilitas penunjang. Sehingga pada akhirnya gedung DPR yang diperbaiki pelan-pelan akan kian nyaman untuk mereka, tanpa ada protes rakyat. "Nanti mungkin tahun 2013 ruang komisi dan ruang anggota. Nanti tahun 2014 mungkin sudah sekretariat. Nanti orang sudah sibuk ngurusin pemilu dan mungkin sekali tak memantau proyek-proyek ini,"duga Ray. Baginya hal seperti ini tak perlu dilakukan DPR. DPR seharusnya menjaga komitmen yang dibuat di depan rakyat dan fokus menyalurkan aspirasi rakyat, bukan melengkapi gedung DPR dengan fasilitas mewah. "Mereka mencoba licik menipu rakyat dengan tidak membangun gedung baru. Tapi tetap membangun fasilitas untuk mereka. Ini secara filosofis sangat menyedihkan," keluhnya. Anggota Banggar DPR punya ruang rapat baru di Gedung Nusantara II DPR. Anggaran pembangunannya fantastis, rumornya mencapai Rp 20 miliar. Ruang rapat baru Badan Anggara DPR telah dilelang pada bulan Oktober 2011. Perkiraan harga proyek keseluruhan Rp 20.370.893.000. Berdasarkan penguluman lelang Setjen DPR dengan kop "PENGUMUMAN PELELANGAN UMUM Nomor : 523111/MUM_U/BANGGAR/03/GP/ 2011", proyek ini masuk tahu anggaran 2011. Pembangunan ruang baru Banggar tidak banyak yang tahu karena dilaksanakan pada masa reses DPR, periode Desember 2011. Dan saat anggota Banggar DPR memasuki masa sidang baru, anggota Banggar DPR akan menempati ruangan baru. Ruang baru anggota Banggar DPR terletak di depan ruang rapat Komisi III DPR dan ruang rapat Komisi I DPR. Sebelumnya ruang rapat Banggar DPR berada di Gedung Nusantara I DPR. Setjen DPR tidak membantah pagu anggaran Rp 20 miliar untuk pembangunan ruang baru Banggar DPR. Namun enggan juga memberitahukan efisiensi anggarannya. "Itu nanti seperti apa detailnya lewat Bu Sekjen saja ya, supaya tidak ada distorsi informasi," kilah ketua Biro Harbangin DPR, Sumirat, kepada detikcom.

Site Map

Advertise