Selasa, 10 Januari 2012

Hakekat Reformasi Agraria

Hakekat Reformasi Agraria
Sabtu, 31 Desember 2011 | 18:01 WIB


Oleh : Hiski Darmayana

Konflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.

Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?

Definisi Reformasi Agraria

Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).

Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.

Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.

Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.

Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.

Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.

Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.

Reformasi Agraria di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.

Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960. UU PA No.5/1960 diberlakukan untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet” dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan.

Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut :

1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari reformasi agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela.

Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI). Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reformasi agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.

Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.

Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan ini turut berkontribusi pada peningkatan represifitas aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima.

Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan nasionalis-kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada UU PA No.5/1960 juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.

Penulis adalah Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumnus Antropolgi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

Revolusi Agraria Presfektif UUPA No.5 Tahun 1960

Revolusi Agraria Presfektif UUPA No.5 Tahun 1960 Oleh : Aryo Nugroho Waluyo
oleh Aryo Sang Penggoda pada 24 Desember 2011 pukul 11:21

Sejarah pembuatan UUPA No.5 tahun 1960 berserta semangatnya


Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Setelah proses pembahasan RUUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:

“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.

Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:

“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:

Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi.

UUPA Kontradiktif dengan UUPMA

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru22.

Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.

Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.

Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.

Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.

Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.

Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.

Kasus Mesuji

Kasus mesuji dan kasus konflik tanah pada hari ini sebenarnya didasari bahwa Negara telah gagal dalam distribusi tanah. Negara yang rodanya dijalankan pemerintah mencedererai semangat revolusioner bangsa ini dimana pemerintahan hari ini lebih pro kepada bangsa asing (investor) untuk mengelola tanah. Tanah adalah alat produksi kini dijadikan alat bisnis dimana tanah digunakan bukan untuk kemakmuran masyarakat namun digunakan sebagai alat mengeruk keuntungan bagi pengusaha. Sesuatu yang sangat ironi tanah yang begitu luas di Indonesia ini tidak bisa mensejahterakan rakyatnya malah sebaliknya pemerintah sibuk impor beras dan bahan pokok lainya. Dalih peningkatan perokonomian menjadi senjata pemerintah untuk melancarkan serangan dengan membuka investasi yang propasar bukan pro rakyat. Bagaimana indonesia tidak impor beras jika tanah untuk pertanian sudah kian sedikit ditambah minimnya peran dalam hal pemberdayaan petani dari segi alat produksi, penunjang produksi dan lain-lain. Sampai hari petani masih mengunakan alat produski yang sangat manual sekali dan bisa dipastikan hasilnyapun tidak maksimal. Tanah telah habis didistibusikan kepada para pengusaha dengan menanam komuditas yang bukan untuk rakyat. Sepertinya sistem feodalisme sudah kembali terulang dalam sistem pemerintahan hari ini dimana pimpinan perusahaan bisa memiliki tanah beribu-ribu hektar banyaknya. Dengan modus pembuatan Group ini dan itu walau sebenarnya itu hanya satu kepemilikan saja. Petani menjadi buruh murah di rumah sendiri, memang sangat ironi dan inilah yang mengakibatkan konflik itu selalu terjadi karena keadilan belum pro dengan rakyat. Kita juga bisa melihat dimana aparat penegak hukumpun selalu membela pengusaha bukan petani, perusahaan dijaga sebegitu ketat, banyak pospol bediri diarea perkebunan besar swasta, seakan-seakan aparat penegak hukum bagaikan centengnya (security)nya perusahaan. perlu ada terobosan baru dalam pembaharuan agraria kalau tidak konflik itu akan tetap terjadi.

Sabtu, 07 Januari 2012

BPN: lakukan pendekatan persuasif selesaikan konflik agraria

Bengkulu (ANTARA News) – Staf khusus penataan organisasi dan hukum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Usep Setiawan menyatakan, penyelesaian konflik agraria jangan menggunakan pendekatan keamanan tetapi lebih menekankan tindakan persuasif.

“Menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang lazim dipakai oleh pemerintah daerah merupakan cara kuno merugikan rakyat dan tidak manusiawi,” katanya ketika menghadiri kongres serikat tani Bengkulu, Sabtu.

Menurut dia, akar permasalahan agraria disebabkan oleh politik agraria yang belum banyak memihak pada kepentingan rakyat sehingga konflik yang mengarah pada tindakan brutal oleh massa sangat rentan terjadi.

Oleh karena itu, ia berharap, agar aparat kepolisian tidak dikedepankan dalam setiap konflik agraria tetapi sebaliknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan menghargai hak asasi manusia.

Menurutnya, secara nasional terdapat lima masalah umum dalam agraria. Pertama, ketimpangan kepemilikan, kepenggunaan dan kemanfaatan sumber daya agraria oleh petani.

Kedua, sengketa agraria dan konflik di banyak tempat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Ketiga, kondisi agraria mengakibatkan petani sulit mengakses produksi tani, bibit, dan pupuk.

Keempat, petani terbatas dalam hal mengelola hasil panen untuk dijadikan hasil produksi yang lebih bernilai ekonomis tinggi.

Kelima, kesulitan pemasaran produk-produk pertanian. Kelima hal ini mengakibatkan masyarakat pedesaan menjadi kurang diuntungkan.

Ia katakan, dalam catatan konsorsium pembaruan agraria (KPA) terdapat 1.753 sengketa lahan di Indonesia yang diakibatkan oleh sengketa struktural yakni sengketa lahan karena penyalahgunaan kewenangan.

BPN untuk mengatasi persoalan tersebut menjalankan lima agenda strategis pertama, reforma agraria, kedua, penanganan dan penyelesaian sengketa, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sertifikasi aset tanah rakyat, dan pengembangan kantor bergerak atau program layanan rakyat untuk sertifikat tanah (larasita).

Selanjutnya, penyelesaian persoalan agraria dalam waktu dekat BPN akan membentuk komite nasional untuk mengatasi sengketa lahan yang terdiri atas seluruh unsur terkait karena persoalan agraria tidak dapat diselesaikan oleh satu lembaga saja termasuk BPN, katanya. (ANT-291/Z002)

Editor: B Kunto Wibisono

Refleksi Atas Politik Agraria Pemerintahan SBY - Budiono

“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, Djalanja Revolusi Kita, 1960)

Berbeda dengan pemerintahan Soekarno, pemerintahan SBY-Boediono tidak menjadikan reforma agraria sebagai landasan pembangunan nasional. Padahal sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia bergantung kepada sumber-sumber agraria, khusus tanah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim SBY-Boediono tidak punya kepedulian terhadap nasib kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang bergantung terhadap tanah dan sumber-sumber agraria.

Selama ini, tidak dijalankannya reforma agraria telah mengakibatkan berbagai persoalan struktural di Indonesia, diantaranya ; 1) rapuhnya struktur perekonomian bangsa dan tidak kokohnya bangunan industrialisasi. 2) terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sangat tajam. Hal ini pada gilirannya telah menciptakan kondisi ketidakadilan sosial dan kemiskinan dan pengangguran missal. 3) maraknya konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia. 4) Terbentuknya sistem hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. 5) Terbangunnya suatu birokrasi dan kekuasaan negara yang menjalankan politik agraria yang lebih mementingkan pengusaha besar dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Masalah-masalah agaria di atas sebagai warisan pemerintahan orde baru, sampai saat ini masih berlangsung tanpa ada niat atau dan komitmen politik untuk mengakhirinya. Komitmen politik pemerintah sejatinya dimulai dari perubahan politik hukum agraria yang lebih mengabdi pada pengusaha dengan mengorbankan kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat. Tapi nyatanya komitmen politik tersebut tak kunjung datang, meskipun umur reformasi telah memasuki usianya 12 tahun.

Politik agraria yang hadir saat ini tak ada bedanya dengan politik agraria di jaman kolonial. Yakni politik agraria yang lebih mengabdi pada kepentingan kaum parikelir dengan mengorbankan kaum tani. Pemerintahan Soekarno mencoba untuk mendekontruksi politik hukum agraria kolonial tersebut di atas denga mengeluarkan UUPA tahun 1960. Namun sayangnya di era pemerintahan Soeharto dimandulkan dan dikhianati dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mengatur masalah agaria yang bertentangan dengan UUPA.

Ironisnya, tindakan serupa kembali dilakukan oleh pemerintahan pasca reformasi. Bukannya melakukan revitalisasi atas semangat yang dikandung oleh UUPA, yakni dengan menjalankan land reform, justru sejumlah kebijakan yang lahir sama sekali tidak merujuk pada UUPA, misalnya lahirnya UU tentang kehutanan, UU tentang Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Modal Asing, dsb. Inti dari semua kebijakan tersebut adalah alokasi penguasaan sumber daya agraria dalam skala besar dalam mekanisme pasar. Lagi-lagi rakyat kecil menjadi korban.

Berbagai kebijakan yang lahir pasca reformasi, termasuk yang lahir di era rezim SBY telah mengakibatkan persoalan pokok agraria semakin dalam. Ada dua pokok persoalan yang paling mencolok, yakni situasi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan dan sumber-sumber agraria yang semakin dalam dan merebaknya konflik agraria yang disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Masalah ketimpangan bisa kita saksikan misalnya dalam hal penguasaan aset-aset produktif nasional dimana hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besarnya dalam bentuk tanah. Ketimpangan juga berlangsung di sektor kehutanan, dimana sampai saat ini kurang lebih 17,38 juta Ha telah diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk IUPHHK, dan 8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industri. Di sektor perkebunan besar, kurang lebih 15 juta hektar untuk Hak Guna usaha.

Kondisi ketimpangan agraria juga ditunjukkan dengan kenyataan bahwa 35 persen daratan Indonesia telah dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B). Namun pada yang bersamaan terjadi peningkatan petani gurem. BPS mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) jumlah petani gurem semakin meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang.

Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rat pemilikannya hanya 0,36 hektar.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa politik agraria nasional kita saat ini sepenuhnya mengabdi pada kepentingan ekonomi kapitalisme neoliberal. Hal ini kemudian melahirkan dua macam bentuk ketidakadilan, yakni ketimpangan alokasi tanah dan sumber-sumber agraria untuk kegiatan ekstraksi dan berorientasi keuntungan bagi proyek¬proyek bisnis besar dibandingkan dengan alokasi tanah untuk kegiatan pertanian rakyat, dan juga terjadi ketimpangan distribusi tanah diantara petani-petani di Indonesia.

Akibat lain dari politik agraria tersebut di atas adalah maraknya konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia. Selama 2010, data per januari-juni2010, KPA merekam sekitar lebih dari 167.741 Ha tanah dalam status konflik. Jumlah lahan tersebut berkonflik di lebih dari 60 wilayah kasus di Indonesia. Data tersebut masih terus berkembang dan dalam proses pencatatan tambahan selama periode juli-desember 2010. Kasus tersebut telah menimbulkan korban lebih dari 150.000 KK.
Berhadapan dengan politik agraria yang semakin liberal, kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat tidak pernah surut untuk memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria sejati. Reforma agraria diyakini oleh sebagai jalan untuk melepaskan mereka dari proses penindasan, penghisapan, kesengsaraan dan kemiskinan.

Dalam konteks ini, reforma agraria erat kaitannya dengan upaya pembebasan rakyat dari berbagai macam bentuk penindasan dan penghisapan. Karena reforma agraria dalam pengertian yang sesungguhnya adalah suatu program politik untuk merubah struktur kekuasaan dalam lapangan agraria (penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria)”. Di dalamnya, redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang ditentukan, dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria tersebut.

Lebih jauh reforma agraria atau pembaruan agraria pada prinsipnya bertujuan untuk mengkahiri suatu sistem ekonomi politik yang didasari atas hubungan-hubungan produksi yang menindas dan tidak adil atas tanah dan sumber daya alam. Dalam pengertiannya sebagai upaya untuk merombak ulang atas pemilikan, penguasaan, penggunaan pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam yang timpang, reforma agraria menghendaki pembaruan hubungan produksi yang tidak adil dan menindas sebagai hasil dari sistem feodalisme dan kolonialisme.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan program reforma agraria yang sempat dikampanyekan oleh Rezim SBY di awal tahun 2007. Dalam pidatonya, Presiden menyatakan niatnya untuk melakukan redistribusi lahan secara terbatas dan sertfikasi tanah. Sampai saat ini, janji untuk melakukan redistribusi tanah seluas 8,15 juta Ha yang berasal dari hutan produksi yang bisa dikonversi tidak pernah terealisasi, tetapi yang dilakukan adalah mempercepat sertifikasi yang tentu saja sangat jauh dari pengertian reforma agraria sejati.

Sejak awal, terdapat simplipikasi pengertian reforma agraria dari pidato presiden SBY. Sebab program redistribusi lahan tidak selalu bermakna sebagai reforma agraria sejati, apalagi dalam kenyataannya lebih mendahulukan program sertifikasi. Karena pada dasarnya, reforma agraria harus bermakna penataan ulang struktur penguasaan tanah yang di dalamnya dapat terliput – dan biasanya menjadi program intinya – suatu aktivitas redistribusi tanah dan pembatasan atau pencegahan konsentrasi penguasaan tanah. Bahkan dapat pula di dalamnya terkandung aksi-aksi untuk menata ulang sistem bagi hasil dalam kegiatan pertanian.

Aktivitas redistribusi tanah tersebut selanjutnya harus disertai dengan sejumlah program ikutan yang tidak bisa tidak harus disediakan secara programatik pula, yakni penyediaan segala kemudahan bagi petani penerima tanah untuk memulai mengembangkan potensi produktivitasnya di atas tanah yang mereka terima. Peran negara (dalam hal ini pemerintah) tidak hanya menyiapkan sarana untuk kemudahan berproduksi dan kemudian memasarkan hasil-hasil produksi kelompok-kelompok petani penerima tanah tersebut, tetapi juga ada perannya untuk memberikan perlindungan ketika petani-petani penerima tanah masih harus memperkuat unit-unit ekonomi produksinya.

Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) memperjuangkan reforma agraria sejati (Genuine agrarian reform). Kata sejati (genuine) disini bermakna sebagai oposisi terhadap program reforma agraria yang sedang marak dikampenyekan oleh rezim SBY-Boediono.

Reforma agraria sejati yang dikehendaki oleh kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat adalah reforma agraria dengan agenda-agenda sebagai berikut :
(1) Merombakan struktur agraria yang timpang; (2) Mengadakan pembagian yang adil atas “sumber-sumber agraria”, dalam hal ini yang terutama adalah tanah, sebagai sumber penghidupan; (3) Mengikis dan mencegah konsentrasi penguasaan tanah dan sumber daya alam; (4) Menyelesaikan segala konflik agraria yang terjadi selama ini secara menyeluruh; (5) Mengadakan sejumlah hal yang diperlukan bagi tumbuhnya ekonomi rakyat yang kuat, khususnya yang berbasis di pedesaan; dan (6) Membangun fondasi yang kokoh atas keadilan sosial sejalan dengan amanah UUPA 1960 dan TAP MPR No. IX/2001.

Untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka program ini perlu dipersiapkan dengan matang dengan memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan. Peran negara (dalam hal ini: pemerintah) sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam pelaksanaan reforma agraria, termasuk menyediakan prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat ideal pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud meliputi: (1) kemauan politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya organisasi tani yang kuat, (4) dukungan dari angkatan bersenjata, dan (5) dipisahkannya elit politik dan elit bisnis.

Oleh:
Idham Arsyad (Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Juru Bicara FORI)

Kebijakan Politik Agraria Pemerintah Tidak Berpihak Pada Petani

KEBIJAKAN politik agraria secara nasional belum berpihak pada kaum tani dan rakyat kecil. Sehingga perlu adanya konsolidasi nasional dari para pengiat gerakan reforma agraria dan organisasi-organisasi tani untuk menekan pemerintah.

Demikian kata, Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional KPA dalam acara diskusi kebijakan politik agraria di Kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Selasa (19/7/2011) di Jakarta.
“Sejak Orde Baru hingga sekarang, tidak ada perubahan mendasar dalam politik agraria. Semua masih sangat kolonialistik, kapitalistik, dan hanya berpihak pada kepentingan modal,” tegas Usep Setiawan.

Akibat tidak adanya perubahan kebijakan politik agraria tersebut, ketimpangan struktur kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria masih tetap terjadi. Bahkan semakin mengganas dalam menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

“Ada banyak masyarakat yang tidak memiliki tanah, bahkan sama sekali tidak punya tanah. Sementara di sisi lain, hanya ada sedikit orang yang menguasai tanah dan sumber-sumber agraria dalam jumlah yang sangat luas,” imbuhnya.

Namun, kata Usep Setiawan, para pegiat gerakan reforma agraria tidak perlu pesimis. Pasalnya, saat ini ada PP No.11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah telantar yang bisa digunakan oleh para aktivis gerakan pembaruan agraria untuk mendorong agar BPN-RI bisa lebih pro-aktif untuk melaksanakan reforma agraria. Karena, salah satu tugas pokok BPN adalah melaksanakan reforma agraria.

Sekalipun, Usep Setiawan mengakui ada banyak kelemahan dalam PP No.11/2010 tersebut. Salah satu kelemahannya yang paling mendasar adalah PP tersebut tidak punya kemampuan untuk menyentuh persoalan-persoalan agraria yang ada di sektor kehutanan, pertambangan, dan lembaga-lembaga pemerintah lain seperti institusi TNI/Polri.

“Kelemahan PP tersebut sekaligus menjadi kelemahan kewenangan BPN dalam menjalankan salah satu tugas pokoknya untuk melaksanakan reforma agraria,” tandas Usep Setiawan yang saat ini juga menjadi Staf Khusus Bidang Hukum Kepala BPN-RI.

Dominasi Komprador
Sementara menurut Sekjend Aliansi Gerakan Agraria (AGRA) Rahmat, tidak adanya kebijakan politik agraria yang memihak rakyat, khususnya petani kecil dan buruh tani itu karena negara masih didominasi para komprador yang anti reforma agraria. Bahkan kebijakan reforma agraria yang dilakukan oleh BPN-RI itu bukan reforma agraria. Melainkan hanya sekadar langkah taktis untuk menyelamatkan posisi semata.

Buktinya, kata Rahmat, BPN tidak pernah berani melawan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Sinarmas Group, Wilmar Group, dan Bakrie Group yang menguasai banyak lahan dan sumber-sumber agraria. Padahal perusahan-perusahan besar itu banyak merampas tanah-tanah rakyat dan melahirkan konflik agraria.

Sebagai organisasi tani yang memiliki puluhan ribu anggota dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Rahmat mengakui bahwa persoalan paling berat yang selama ini dihadapi kaum tani adalah ketika terjadi konflik dengan perusahaan besar yang memiliki hubungan secara langsung dengan kapitalisme internasional. Ia menyebutnya sebagai “tuan tanah baru” korporasi yang berhubungan dengan kapitalisme Internasional.

Selain itu, musuh terberat keduanya adalah ketika pemerintah itu sendiri yang menjadi “tuan tanahnya.” Seperti, PTPN, Perhutani, TNI dan Polri yang menguasai tanah. “Kedua tipe tuan tanah inilah yang saat ini menjadi musuh utama petani,” tegasnya.

Diskusi yang dihadiri sekitar 20 orang anggota dan pengurus AGRA ini, dimoderatori oleh Sugiyarno, staf Bagian Umum AGRA. Usai diskusi, Usep Setiawan menyerahkan buku karyanya yang berjudul “Kembali ke Agraria” pada Sekjend AGRA, Rahmat.* -Sidik Suhada-

Sumber : http://www.kpa.or.id/berita-119-kebijakan-politik-agraria-pemerintah-tidak-berpihak-pada-petani.html

Hukum Responsif, Hukum Otonom dan Hukum Refrensif


Menurut Philippe Nonet dan Philippe Selznick

1. Hukum Refrensif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represi dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represi tidak perlu memaksa.
Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.

Ciri-ciri umum dari hukum represif:

1. Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
2. Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
4. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
6. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

2. Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.

Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
* penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
*terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.

Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
*Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan.
Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
*Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
*Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif.
Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

3. Hukum Responsif

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.

Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.

Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern.
Norma kerakyatan,
*pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah.
*Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
*Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.

Jumat, 06 Januari 2012

Krisis HAM, Konflik Gubernur dan Gerakan Sosial


Oleh : Muhammad Fuad

Tanpa terasa kemelut konflik Gubernur Lampung sudah berjalan hampir 3 tahun. Tepatnya pada tanggal 29 Desember 2002, Pemerintah Pusat (ketika itu Presiden Megawati) melalui Mendagri Hari Sabarno mengirim surat kepada DPRD Lampung untuk menunda pemilihan Gubernur Lampung periode 2002-2007. Dimulai dari sinilah konflik Gubernur Lampung terjadi. Anehnya dalam rentan waktu yang cukup lama, sampai kini belum menunjukkan adanya arah penyelesaian konflik secara konkrit, sehingga wajar muncul  pertanyaan dan kejengkelan banyak kalangan.

Carut-marutnya dunia perpolitikan elite politik, pada kenyataannya semakin menenggelamkan isu-isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan perburuhan serta penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi. Kondisi tersebut pada gilirannya akan melahirkan krisis terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam konteks ini, sesungguhnya wacana tentang siapa yang harus memimpin Lampung sebenarnya sudah tidak lagi seksi dan harus segera diakhiri. Karena dibalik itu, ada persoalan mendasar yang selama ini terabaikan yakni rendahnya pemenuhan dan perlindungan pemerintah terhadap hak asasi manusia.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika pihak Rumah Sakit Umum Abdul Muluk (RSUAM) berencana menutup pelayanan lantaran tidak adanya dana operasional, kemudian disusul dengan rencana pemulangan gaji ke-13 Pegawai Negeri sipil (PNS) oleh Pemerintah Provinsi. Tapi untungnya rencana ini tidak benar-benar terjadi. Bayangkan jika hal ini terjadi, berapa ribu pasien yang akan terlantar dan mungkin kehilangan hak hidup! juga beban yang harus ditanggung oleh PNS. Logikanya, jika konflik gubernur ini terus berkepanjangan; Pemerintah Pusat tidak tegas, Legislatifnya ‘ngotot’ dan Eksekutifnya ‘keras kepala’ sehingga pembahasan RAPBD tahun 2006 tidak pernah terealisasi. Maka dapat dipastikan akan menghasilkan kekacauan, RSUAM dan kantor pemerintah tidak beroperasi, pembangunan tidak berjalan dan terhentinya pelayanan publik.

Sikap elite politik yang saling berebut kekuasaan, sesungguhnya menjadi ironi ditengah semakin terpuruknya kondisi sosial-ekonomi rakyat akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 1 Oktober. Sebagai bahan renungan, saat ini angka kemiskinan di Lampung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) mencapai 622.004 KK . Dengan asumsi setiap keluarga memiliki 2 orang anak, maka angka kemiskinan di Lampung  mencapai 2.488.016 jiwa. Patut disadari bahwa, kemiskinan yang dialami rakyat akan selalu berimplikasi pada rendahnya akses kesehatan, kelaparan dan kekurangan giji, kematian akibat penyakit, rendahnya akses pendidikan serta tempat tinggal yang tidak memadai.

Di sisi lain program-program pemerintah seperti program kesehatan dan pendidikan belum  berjalan dengan baik. Hal ini terlihat jelas di kabupaten Lampung Selatan yang sebagian besar penduduknya adalah petani yakni, sebanyak 84,6% tidak memperoleh akses kesehatan dari jumlah penduduk miskin mencapai 45.825 jiwa. Sementara berdasarkan data di rumah sakit dan puskesmas di Lampung Selatan melalui Human Development Indeks (HDI) tahun 2004, 66% ibu hamil menderita giji buruk dan 13,7% balita menderita kurang giji. Angka kematian ibu mencapai 56/100.000 kelahiran hidup, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi 40/100.000 kelahiran hidup .

Begitu pula dengan akses pendidikan, meskipun kebijakan pemerintah tentang dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM) telah berjalan, kenyataan di lapangan belum banyak membantu siswa karena masih lemahnya sosialisasi dan monitoring terhadap kebijakan tersebut, sehingga tak jarang terjadi penyimpangan. Persoalan pendidikan juga meliputi: masih rendahnya kompetensi guru dan minimnya gaji sebagian besar guru swasta yang jauh di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP).

Derita rakyat juga dialami oleh buruh yakni, rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP) yang hanya sebesar Rp. 405.000,- dan dianggap masih jauh dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL), rendahnya jaminan kesejahteraan buruh termasuk indikasi akan dirumahkannya ribuan buruh akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Selanjutnya tingginya beban hidup juga dialami oleh nelayan, dimana akibat kenaikan harga BBM berimbas pada tingginya biaya operasional baik berupa biaya solar maupun biaya makan yang harus dikeluarkan oleh nelayan. Sehingga menyebabkan para nelayan berhenti melaut atau berpindah profesi bahkan tidak sedikit nelayan yang harus menganggur.

Sayangnya potret buram pemenuhan dan perlindungan HAM seperti dijelaskan di atas tidak dengan sendirinya menjadikan para elite politik bersikap arif dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik, para elite politik justru cendrung bersikap semau gue lu peduli ape!


Perangkat Hukum

Sejumlah perangkat perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam Amandemen Undang Undang Dasar 1945 ke-4 baik tentang hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) maupun Hak-hak Sipil (Sipol) dan diperkuat dengan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Kemudian dipertegas kembali oleh SBY–Kalla dalam naskah bertajuk Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera (Jakarta, 10 Mei 2004), di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), SBY-JK menjanjikan ”Agenda Program Keadilan Hukum, HAM dan Demokrasi” termasuk ”penghormatan dan pengakuan atas Hak Asasi Manusia”. Dalam uraiannya, dikatakan bahwa ”Pemenuhan HAM merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya”. Hak-hak tersebut meliputi “ hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berorganisasi, hak atas keyakinan agama, hak atas kecukupan pangan , hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, dan hak atas hidup yang sehat” . Terakhir pada tanggal 30 September 2005 semangat pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menghormati HAM juga ditunjukkan dengan meratifikasi dua Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia yakni, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (Sipol) dan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob).

Dengan demikian jelaslah bahwa negara utamanya pemerintah secara hukum telah terikat dalam mengambil peran demi pemajuan HAM. Dalam upaya ini, setidaknya ada tiga elemen kewajiban negara, pertama kewajiban untuk menghormati/menghargai (state obligation to recpect) kedua, kewajiban untuk melindungi (state obligation to protect) ketiga, kewajiban untuk mempromosikan dan mewujudkan hak (state obligation to promote and fulfill). Sehingga kemajuan atau kesungguhan pemerintah merealisasikan kewajibannya dalam pemajuan Ham terlihat jelas dari bagaimana pemerintah pertama, melaksanakan mandat dari kebijakan politik negara (konstitusi dan perundang-undangan) kedua, menuangkan perencanaan dan alokasi kebijakan realisasi bagi pemenuhan hak sosial ekonomi rakyat.

Karenanya, ketika pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan dan pemajuan HAM kepada rakyatnya, merupakan indikasi bahwa pemerintah telah gagal menjalankan kewajibannya sebagai penerima mandat. Sekarang hanya tinggal satu pertanyaan, kalau hak-hak rakyat terabaikan, sementara para elite politik sibuk berebut kekuasaan, kemana rakyat mengadu? Di sinilah rakyat yang merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan para elite politik harus mengambil inisiatif.



Gerakan Sosial

Dari perspektif demokrasi, mengutip pendapat Prof. Dr. Thomas Meyer , pada dasarnya demokrasi mengenal tiga pendekatan berbeda untuk mencapai tujuan publik (model-model pengaturan) : pertama melalui pasar dimana orang bisa memperoleh barang dan jasa sesuai dengan harga yang dibayar kedua, melalui negara dimana semua orang dapat menikmati kebutuhan-kebutuhan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, bila perlu negara menggunakan intrumen kekuasaan agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi ketiga, melalui masyarakat sipil dimana orang dapat memenuhi kebutuhan kolektif melalui tindakan solidaritas secara sukarela oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Pandangan ini mengisaratkan bahwa demi mencapai tujuan public terdapat 3 (tiga) sektor yang mempunyai peran dan fungsi masing-masing yakni, pasar, negara dan masyarakat sipil

Berkaitan dengan konflik Gubernur, dalam situasi kebuntuan politik saat ini, maka pemberdayaan masyarakat sipil kiranya menjadi penting untuk disuarakan sebagai kekuatan pengimbang terhadap negara dengan melakukan pengawasan terhadap negara dari kecendrungan buruknya.  Disinilah sesungguhnya peran masyarakat sipil sangat diperlukan guna mendorong dan mengawal proses penyelesaian konflik. Inilah waktunya gerakan-gerakan sosial yang dibangun selama ini dalam upaya memperkuat Civil Sosiety, dijadikan sumber utama untuk melakukan kerja-kerja tersebut.

Alexis de ‘Tocqueville’ mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswadayaan dan kemandirian tinggi dalam berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya . Masyarakat sipil ini dapat mewujud ke dalam gerakan sosial yang dipelopori oleh organisasi rakyat, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, kaum intelektual yang belum terkooptasi oleh penguasa, petani, buruh, nelayan dan miskin perkotaan. Diharapkan melalui gerakan ini, dari aneka kekuatan yang tersedia dapat dimanfaatkan sebagai pendobrak berakhirnya konflik, untuk  kemudian menjadi stimulator dan motor penggerak demi pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terutama mereka yang papa miskin, tersingkir dan termarjinalkan.

Akhirnya, bagi rakyat persoalan siapa yang akan berkuasa ngak penting dan sama sekali bukan urusan rakyat, yang penting bagi rakyat adalah terpenuhinya hak-hak dasar mereka. Dan semoga peringatan hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember dapat menjadi momentum bagi rakyat menagih hak-haknya.


Wassalam









IDENTITAS PENULIS

Nama             : Muhammad Fuad, S.Sos
Tempat, Tgl Lahir    : Jakarta, 31 Agustus 1976
Pekerjaan        : Staff LBH Bandar Lampung
Pengalaman Organisai :
1.    Mantan Ketua SMPT UBL Tahun 1997-1998
2.    Mantan Wakil Koordinator Keluarga Mahasiswa Pemuda Pelajar Rakyat Lampung (KMPPRL) Tahun 1998
3.    Divisi Informasi dan Komunikasi Dewan Rakyat Lampung
4.    Pengurus Ikatan Keluarga Alumni FISIP UBL
5.     Staff LBH Bandar Lampung
Alamat Kantor     : Jl. MH Thamrin No. 63/3 Gorong Royong Tanjung Karang Pusat
  Bandar Lampung Telp.  7478795
Contac Number     : Hp. 08159203247 E-mail : fuad_jii@yahoo.com

Konflik Agraria Naik Drastis Sepanjang 2011

Konflik Agraria Naik Drastis Sepanjang 2011

TEMPO.CO, Jakarta - Menilik konflik agraria sepanjang 2011, tercatat 120 kasus meningkat, sekitar lima kali lipat dari jumlah kasus tahun 2010 yang tercatat 22 kasus. "Data ini belum termasuk konflik masyarakat tani di Bima," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, Kamis, 29 Desember 2011.

Menurutnya, saat ini konflik agraria terjadi antara petani dengan perusahan swasta perkebunan, pertambangan, AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), dan BUMN. Konflik terjadi terus-menerus secara masif dan berlarut-larut. "Akibatnya, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan, serta berbagai bentuk kekerasan kriminalisasi," katanya.

Akar konflik, kata Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI Yakub, karena tidak dilaksanakannya pembaruan agraria yang telah direncanakan dan semakin sempitnya lahan. Dia menjelaskan tercatat 2.791 kasus pertanahan di Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2011. "Kasus tanah tersebut adalah kasus pengadaan tanah yang berujung pelanggaran HAM," katanya.

Konflik di bidang pariwisata pun kemungkinan terbuka, seperti lahan pertanian di Pulau Komodo yang diambil pihak pariwisata. "Bahkan, di Bali juga akan terjadi konflik agraria pariwisata," kata Yakub.

Demi menghindari konflik, Serikat Petani meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria berdasarkan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UUD 1945.

Hukum News

Korupsi News

Visitors

Berita

Fokus Kajian

  • Demokrasi
  • Hak Asasi Manusia

Politik News

Jakarta - DPR telah membatalkan rencana pembangunan gedung baru. Namun diam-diam membangun satu-persatu ruang rapat. DPR dinilai menipu rakyat. "Mereka tidak pernah stop pembangunan gedung baru, tapi mereka memecah rencana itu sampai tahun 2014. Saya pikir sekarang mereka siasati satu-persatu. Mulai parkir, toilet, ruang Banggar di Nusantara II, kemudian totalitas pembangunan gedung DPR itu sendiri," tuding Direktur Lima Indonesia, Ray Rangkuti, kepada detikcom, Rabu (11/1/2012. Di tahun-tahun yang akan datang, Ray meyakini, DPR akan membangun berbagai fasilitas penunjang. Sehingga pada akhirnya gedung DPR yang diperbaiki pelan-pelan akan kian nyaman untuk mereka, tanpa ada protes rakyat. "Nanti mungkin tahun 2013 ruang komisi dan ruang anggota. Nanti tahun 2014 mungkin sudah sekretariat. Nanti orang sudah sibuk ngurusin pemilu dan mungkin sekali tak memantau proyek-proyek ini,"duga Ray. Baginya hal seperti ini tak perlu dilakukan DPR. DPR seharusnya menjaga komitmen yang dibuat di depan rakyat dan fokus menyalurkan aspirasi rakyat, bukan melengkapi gedung DPR dengan fasilitas mewah. "Mereka mencoba licik menipu rakyat dengan tidak membangun gedung baru. Tapi tetap membangun fasilitas untuk mereka. Ini secara filosofis sangat menyedihkan," keluhnya. Anggota Banggar DPR punya ruang rapat baru di Gedung Nusantara II DPR. Anggaran pembangunannya fantastis, rumornya mencapai Rp 20 miliar. Ruang rapat baru Badan Anggara DPR telah dilelang pada bulan Oktober 2011. Perkiraan harga proyek keseluruhan Rp 20.370.893.000. Berdasarkan penguluman lelang Setjen DPR dengan kop "PENGUMUMAN PELELANGAN UMUM Nomor : 523111/MUM_U/BANGGAR/03/GP/ 2011", proyek ini masuk tahu anggaran 2011. Pembangunan ruang baru Banggar tidak banyak yang tahu karena dilaksanakan pada masa reses DPR, periode Desember 2011. Dan saat anggota Banggar DPR memasuki masa sidang baru, anggota Banggar DPR akan menempati ruangan baru. Ruang baru anggota Banggar DPR terletak di depan ruang rapat Komisi III DPR dan ruang rapat Komisi I DPR. Sebelumnya ruang rapat Banggar DPR berada di Gedung Nusantara I DPR. Setjen DPR tidak membantah pagu anggaran Rp 20 miliar untuk pembangunan ruang baru Banggar DPR. Namun enggan juga memberitahukan efisiensi anggarannya. "Itu nanti seperti apa detailnya lewat Bu Sekjen saja ya, supaya tidak ada distorsi informasi," kilah ketua Biro Harbangin DPR, Sumirat, kepada detikcom.

Site Map

Advertise