Selasa, 10 Januari 2012

Hakekat Reformasi Agraria

Hakekat Reformasi Agraria
Sabtu, 31 Desember 2011 | 18:01 WIB


Oleh : Hiski Darmayana

Konflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.

Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?

Definisi Reformasi Agraria

Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).

Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.

Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.

Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.

Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.

Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.

Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.

Reformasi Agraria di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.

Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960. UU PA No.5/1960 diberlakukan untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet” dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan.

Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut :

1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.

Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari reformasi agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela.

Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI). Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reformasi agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.

Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.

Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan ini turut berkontribusi pada peningkatan represifitas aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima.

Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan nasionalis-kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada UU PA No.5/1960 juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.

Penulis adalah Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumnus Antropolgi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

Revolusi Agraria Presfektif UUPA No.5 Tahun 1960

Revolusi Agraria Presfektif UUPA No.5 Tahun 1960 Oleh : Aryo Nugroho Waluyo
oleh Aryo Sang Penggoda pada 24 Desember 2011 pukul 11:21

Sejarah pembuatan UUPA No.5 tahun 1960 berserta semangatnya


Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Setelah proses pembahasan RUUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:

“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.

Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:

“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.

Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:

Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi.

UUPA Kontradiktif dengan UUPMA

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru22.

Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.

Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.

Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.

Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.

Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.

Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.

Kasus Mesuji

Kasus mesuji dan kasus konflik tanah pada hari ini sebenarnya didasari bahwa Negara telah gagal dalam distribusi tanah. Negara yang rodanya dijalankan pemerintah mencedererai semangat revolusioner bangsa ini dimana pemerintahan hari ini lebih pro kepada bangsa asing (investor) untuk mengelola tanah. Tanah adalah alat produksi kini dijadikan alat bisnis dimana tanah digunakan bukan untuk kemakmuran masyarakat namun digunakan sebagai alat mengeruk keuntungan bagi pengusaha. Sesuatu yang sangat ironi tanah yang begitu luas di Indonesia ini tidak bisa mensejahterakan rakyatnya malah sebaliknya pemerintah sibuk impor beras dan bahan pokok lainya. Dalih peningkatan perokonomian menjadi senjata pemerintah untuk melancarkan serangan dengan membuka investasi yang propasar bukan pro rakyat. Bagaimana indonesia tidak impor beras jika tanah untuk pertanian sudah kian sedikit ditambah minimnya peran dalam hal pemberdayaan petani dari segi alat produksi, penunjang produksi dan lain-lain. Sampai hari petani masih mengunakan alat produski yang sangat manual sekali dan bisa dipastikan hasilnyapun tidak maksimal. Tanah telah habis didistibusikan kepada para pengusaha dengan menanam komuditas yang bukan untuk rakyat. Sepertinya sistem feodalisme sudah kembali terulang dalam sistem pemerintahan hari ini dimana pimpinan perusahaan bisa memiliki tanah beribu-ribu hektar banyaknya. Dengan modus pembuatan Group ini dan itu walau sebenarnya itu hanya satu kepemilikan saja. Petani menjadi buruh murah di rumah sendiri, memang sangat ironi dan inilah yang mengakibatkan konflik itu selalu terjadi karena keadilan belum pro dengan rakyat. Kita juga bisa melihat dimana aparat penegak hukumpun selalu membela pengusaha bukan petani, perusahaan dijaga sebegitu ketat, banyak pospol bediri diarea perkebunan besar swasta, seakan-seakan aparat penegak hukum bagaikan centengnya (security)nya perusahaan. perlu ada terobosan baru dalam pembaharuan agraria kalau tidak konflik itu akan tetap terjadi.

Hukum News

Korupsi News

Visitors

Berita

Fokus Kajian

  • Demokrasi
  • Hak Asasi Manusia

Politik News

Jakarta - DPR telah membatalkan rencana pembangunan gedung baru. Namun diam-diam membangun satu-persatu ruang rapat. DPR dinilai menipu rakyat. "Mereka tidak pernah stop pembangunan gedung baru, tapi mereka memecah rencana itu sampai tahun 2014. Saya pikir sekarang mereka siasati satu-persatu. Mulai parkir, toilet, ruang Banggar di Nusantara II, kemudian totalitas pembangunan gedung DPR itu sendiri," tuding Direktur Lima Indonesia, Ray Rangkuti, kepada detikcom, Rabu (11/1/2012. Di tahun-tahun yang akan datang, Ray meyakini, DPR akan membangun berbagai fasilitas penunjang. Sehingga pada akhirnya gedung DPR yang diperbaiki pelan-pelan akan kian nyaman untuk mereka, tanpa ada protes rakyat. "Nanti mungkin tahun 2013 ruang komisi dan ruang anggota. Nanti tahun 2014 mungkin sudah sekretariat. Nanti orang sudah sibuk ngurusin pemilu dan mungkin sekali tak memantau proyek-proyek ini,"duga Ray. Baginya hal seperti ini tak perlu dilakukan DPR. DPR seharusnya menjaga komitmen yang dibuat di depan rakyat dan fokus menyalurkan aspirasi rakyat, bukan melengkapi gedung DPR dengan fasilitas mewah. "Mereka mencoba licik menipu rakyat dengan tidak membangun gedung baru. Tapi tetap membangun fasilitas untuk mereka. Ini secara filosofis sangat menyedihkan," keluhnya. Anggota Banggar DPR punya ruang rapat baru di Gedung Nusantara II DPR. Anggaran pembangunannya fantastis, rumornya mencapai Rp 20 miliar. Ruang rapat baru Badan Anggara DPR telah dilelang pada bulan Oktober 2011. Perkiraan harga proyek keseluruhan Rp 20.370.893.000. Berdasarkan penguluman lelang Setjen DPR dengan kop "PENGUMUMAN PELELANGAN UMUM Nomor : 523111/MUM_U/BANGGAR/03/GP/ 2011", proyek ini masuk tahu anggaran 2011. Pembangunan ruang baru Banggar tidak banyak yang tahu karena dilaksanakan pada masa reses DPR, periode Desember 2011. Dan saat anggota Banggar DPR memasuki masa sidang baru, anggota Banggar DPR akan menempati ruangan baru. Ruang baru anggota Banggar DPR terletak di depan ruang rapat Komisi III DPR dan ruang rapat Komisi I DPR. Sebelumnya ruang rapat Banggar DPR berada di Gedung Nusantara I DPR. Setjen DPR tidak membantah pagu anggaran Rp 20 miliar untuk pembangunan ruang baru Banggar DPR. Namun enggan juga memberitahukan efisiensi anggarannya. "Itu nanti seperti apa detailnya lewat Bu Sekjen saja ya, supaya tidak ada distorsi informasi," kilah ketua Biro Harbangin DPR, Sumirat, kepada detikcom.

Site Map

Advertise